Suparman Kadamin

Thursday, June 10, 2021

IMMAWATI: Resources Yang Terpendam

6/10/2021 08:31:00 PM 0
IMMAWATI: Resources Yang Terpendam


Semoga tidaklah berlebihan saat saya nyatakan dalam judul tulisan ini bahwa IMMawati sebagai bagian dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) adalah sumber daya (resources) utama tetapi kurang mendapatkan perhatian lebih sehingga belum mampu dioptimalkan potensinya. Maka dari itu, kata terpendam dalam judul ini, saya rasa cocok untuk menggambarkan IMMawati hari ini. Tulisan ini tanpa bermaksud mengatakan bahwa IMMawan selama ini sudah memberikan kontribusi yang nyata. Barangkali, IMMawan juga belum mampu membangun IMM menjadi lebih baik. Tulisan ini juga tak bermaksud mengesampingkan IMMawan. Hanya saja, penulis merasa tertarik membincangkan IMMawati sebagai salah satu kekuatan yang ada dalam ikatan tercinta yaitu IMM.

 

Seperti yang sama-sama kita ketahui, seiring perkembangan teknologi dan informasi dewasa ini, kehidupan berbangsa dan bernegara secara signifikan mengalami perubahan. Tak terkecuali kehidupan kaum hawa. Stigma "dapur, sumur, kasur" tidak lagi melekat pada perempuan. Semangat emansipasi yang dikembangkan sekitar abad ke-18, menular sampai ke Indonesia. Alhasil, kehidupan perempuan dulu yang sangat dikekang oleh adat istiadat, kini sudah raib. Perempuan sekarang diberikan kebebasan dan ruang atas dirinya. Bebas berekspresi, bebas berprofesi, bebas menjadi sesuatu. Sudah banyak sosok perempuan yang terjun dan memiliki andil dalam berbagai bidang. Politik, perusahaan, lembaga pendidikan, pemerintahan, dan lain sebagainya. Bahkan baru-baru ini perempuan berprofesi sebagai driver ojek online.

 

IMMawati sebagai perempuan tentunya tahu dan paham betul bahwa kehidupan perempuan hari ini berbeda dengan kehidupan perempuan zaman dulu. Oleh karenanya, Perempuan “Zaman Now” dari sisi perjuangan tentunya juga berbeda. Pertanyaannya, dalam konteks IMMawati, apakah kebebasan tersebut mampu dimanfaatkan dengan baik untuk memberikan kontribusi terhadap kemajuan ikatan? Apakah kebebasan yang didapatkan membuat gerakan IMMawati mampu dirasakan oleh masyarakat khususnya perempuan Indonesia? Ya, IMMawati harus mampu memaknai kebebasan atau emansipasi itu untuk membawa pada tatanan produktifitas yang lebih baik. Hal inilah yang tentunya menjadi renungan bagi IMMawati.

 

IMMawati selama ini masih berfokus pada pemenuhan wawasan mengenai perempuan. Banyak kajian IMMawati yang dijalankan. Banyak diskusi mengenai peranan IMMawati. Namun lagi-lagi, ide dan gagasan yang muncul melalui forum-forum tersebut selesai pada tataran wacana. Tidak diaplikasikan dalam bentuk gerakan konkrit.

 

Penulis mengambil contoh, Grameen Bank di Bangladesh. Bank ini sebagai bukti konkrit gerakan perempuan di bidang ekonomi. Hampir seluruh nasabah Grameen Bank adalah perempuan. Pola yang diterapkan Grameen Bank ini dapat mencapai tujuan untuk membantu perekonomian masyarakat miskin melalui perempuan.

 

Contoh lain dari internal Muhammadiyah yaitu Program Penanggulangan Tuberculosis (TB) yang dijalankan oleh ‘Aisyiyah. Program ini sebagai bentuk peran serta dalam pembangunan kesehatan di Indonesia dan pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) No. 6, yakni penurunan angka penyebaran penyakit menular.

 

Beberapa contoh di atas bisa menjadi role model untuk IMMawati mendesain gerakannya. IMMawati harus mulai memikirkan desain gerakan yang bisa dijalan secara kontinu dan berdampak pada masyarakat. Sekali lagi, ini tidaklah mudah.

 

Optimalisasi Peran

 

Dalam rangka optimalisasi perannya, maka terlebih dahulu IMMawati harus diberdayakan. Jika berangkat dari definisi Fahrudin (2012) mengenai pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat. Maka, dalam konteks IMMawati, pemberdayaan yang dilakukan merupakan upaya untuk membuat IMMawati menjadi mampu dan mandiri. Upaya pemberdayaan ini harus dilakukan IMM sebagai organisasi yang menaunginya.

 

Adapun upaya pemberdayaan IMMawati jika mengadaposi dari teori pemberdayaan masyarakat menurut Fahrudin (2012), diantaranya, pertama, Enabling, yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Masyarakat yang dimaksudkan disini tentunya IMMawati. Pada dasarnya, setiap orang memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Oleh karena itu, pemberdayaan juga dimaksudkan sebagai upaya untuk membangun daya dengan cara mendorong (encourage), memotivasi dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

 

Dalam konteks IMM secara organisasi sebetulnya sudah memberikan ruang tersendiri bagi IMMawati untuk menciptakan suasana dan iklim berkembang. Bahkan hal ini dilakukan melalui regulasi yaitu Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) ataupun aturan lainnya yang berlaku di IMM. Misal, adanya Bidang IMMawati dalam struktur IMM mulai dari level pimpinan komisariat sampai Dewan Pimpinan Pusat. Kemudian adanya Korps IMMawati, lengkap dengan regulasi yang mengaturnya. Ini sebagai bukti bahwa IMM sangat berpihak atas keberadaan IMMawati dalam IMM. Oleh karenanya, dengan adanya affirmative policy ini, IMMawati harus memaksimalkan ruang yang diberikan IMM untuk bisa mengembangkan potensi dan berkontribusi terhadap ikatan melalui ide dan gagasan IMMawati.

 

Kedua, Empowering. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh IMMawati. Penguatan potensi dapat dilakukan melalui langkah-langkah nyata misal penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang dapat membuat IMMawati menjadi makin berdaya.

 

Dari sini, IMM bisa melihat tentang apa yang harus dilakukan setelah memberikan ruang bagi IMMawati mengembangkan potensinya. IMM harus menyediakan saluran atau akses yang membuat IMMawati berkembang makin nyata. Misal membuat jejaring atau kerjasama dengan pihak luar baik instansi pemerintah maupun swasta dalam rangka menyalurkan bakat, ide atau gagasan IMMawati.

Ketiga, Protecting. Sebagai subyek pengembangan, IMM harus melindungi kepentingan IMMawati untuk berkembang. Dalam proses pemberdayaan, maka IMM harus mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, misalnya persaingan peran atau eksistensi antara IMMawan dan IMMawati, baik secara struktural maupun fungsional.

Upaya-upaya di atas harus dilakukan IMM secara sistematis dan masif. Mendorong IMMawati untuk terus berkembang menjadi keharusan bagi IMM. Pasalnya, saat ini dari sisi kuantitas, mayoritas kader IMM adalah IMMawati.

 

Langkah Strategis

 

Harus diakui, keberadaan IMMawati menjadi kekuatan tersendiri bagi perkembangan IMM. Hanya saja, seperti dijelaskan di atas, IMMawati layaknya mutiara yang terpendam. Indah dan bernilai tinggi, tetapi tidak terlihat. Oleh karenanya, untuk dapat mengoptimalkan peranan IMMawati selain dilakukannya program pemberdayaan di atas oleh IMM, IMMawati sendiri juga harus melakukan langkah-langkah strategis yang dilakukan untuk meningkatkan peranannya.

 

Adapun beberapa program yang bisa dijalankan IMMawati dalam rangka meningkatkan atau mengoptimalkan peranannya. Pertama, Talent Management IMMawati. Program ini dimaksudkan untuk menemukan bakat atau potensi dari masing-masing IMMawati. Selanjutnya, melalui program ini pula bakat atau potensi IMMawati disalurkan melalui media atau saluran yang tepat. Dengan begitu, IMMawati menjadi berdaya dan secara peranan makin nyata. Adanya program ini juga diharapkan agar potensi IMMawati juga mampu dikembangkan mengikuti kebutuhan zaman.

 

Kedua, Koperasi IMMawati. Ide ini didasarkan pada habit perempuan yang suka shopping. Alangkah baiknya jika daya beli yang tinggi ini disalurkan melalui badan usaha yang dikelola sendiri oleh IMMawati. Koperasi IMMawati ini nantinya menyediakan kebutuhan IMMawati. Misalnya, kebutuhan fashion yang memang disukai perempuan.

 

Pemilihan badan usaha berbentuk koperasi ini agar semangat berbagi IMMawati yang tinggi bisa dirawat dan mencegah terjadinya tindakan untuk menguasai. Ini sejalan dengan asas kekeluargaan yang ada dalam koperasi. Di Indonesia, ada banyak Koperasi Wanita yang maju dan bisa dijadikan benchmark bagi pengembangan Koperasi IMMawati.

 

Ketiga, Sekolah Politik IMMawati. Sekolah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada IMMawati secara khusus mengenai politik. Sekolah ini menjadi saluran bagi IMMawati yang memiliki passion di dunia politik. Di sekolah ini mereka digodog dan diarahkan menjadi politisi perempuan yang baik, berintegritas tinggi, dan menjunjung tinggi nilai-nilai.

 

Untuk bisa menjalankan program dan langkah strategis tersebut, dibutuhkan effort yang tinggi dari semua pihak yang bersangkutan dalam pengembangan IMMawati. Selain itu, program dan langkah ini harus dilakukan secara sistematis dan masif, tidak boleh parsial. Dan melalui langkah-langkah tersebut diharapkan mampu meningkatkan peranan IMMawati dalam memajukan dirinya maupun ikatan. Bahkan untuk kemajuan persyarikatan, bangsa, dan umat. Semoga.

 

-----

Tulisan ini dipersembahkan untuk kegiatan

DIKSUSWATI 1 NASIONAL PC. IMM CIRENDEU

20 Desember 2019

Monday, May 18, 2020

E-Perkaderan Ikatan: Solusi Perkaderan di Masa Pandemi

5/18/2020 05:42:00 AM 1
E-Perkaderan Ikatan: Solusi Perkaderan di Masa Pandemi

"Saya menulis tulisan ini beberapa bulan sebelum terjadi pandemi. Saya tidak menyangka jika wacana dalam tulisan ini justru jadi topik diskursus menarik di tengah pandemi di Internal Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Hari ini (17 Mei 2020) saya mengikuti diskusi Korps Instruktur DPD IMM DKI Jakarta yang membahas mengenai “Strategi Perkaderan di Masa Pandemi” dan salah satu point pembahasannya adalah mengenai Perkaderan Online. Saya pun jadi teringat tulisan saya satu ini. Berikut tulisan saya kala itu"

Saya akan sangat siap dan paham, jika tulisan ini kemudian dipertentangkan. Hal yang wajar ketika inovasi, selalu diawali dengan riak saat muncul ke khalayak ramai. Termasuk ide mengenai E-Perkaderan Ikatan. Ide ini menjadi bisa dibilang, salah satu inovasi dalam pelaksanaan perkaderan ikatan yang merespon perkembangan zaman. Entah bisa diterima atau tidak.

E-Perkaderan Ikatan sama halnya dengan E-Learning yang saat ini sudah berkembang dan diterapkan banyak kampus. Menurut definisinya E-learning adalah suatu sistem atau konsep pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar. Michael (2013) menyebutkan E-Learning adalah pembelajaran yang disusun dengan tujuan menggunakan sistem elektronik atau komputer sehingga mampu mendukung proses pembelajaran.

Umumnya E-Learning memang digunakan untuk pembelajaran jarak jauh. Secara sederhana pembelajaran jarak jauh sendiri berarti pembelajaran yang dilakukan dengan menghubungkan peserta didik dan tenaga pengajar yang tidak sedang dalam tempat yang sama, dalam waktu yang sama. Oleh karenanya, E-Learning juga dipahami sebagai proses pembelajaran jarak jauh dengan menggabungkan prinsip-prinsip dalam proses pembelajaran dengan teknologi (Chandrawati, 2010) atau sistem pembelajaran yang digunakan sebagai sarana untuk proses belajar mengajar yang dilaksanakan tanpa harus bertatap muka secara langsung antara guru dengan siswa (Ardiansyah, 2013).

Berangkat dari defisini di atas, maka E-Perkaderan Ikatan dapat diartikan sebagai proses perkaderan ikatan jarak jauh dengan menggabungkan prinsip-prinsip perkaderan ikatan dan teknologi tanpa harus bertatap muka secara langsung antara peserta perkaderan dengan pelaksana perkaderan, instruktur, maupun narasumber.

Secara karakteristik E-learning bersifat jaringan, yang membuatnya mampu memperbaiki secara cepat, menyimpan atau memunculkan kembali, mendistribusikan, dan sharing pembelajaran dan informasi (Rosenberg, 2001). Secara rinci, Nursalam (2008) menjelaskan karakteristik E-learning adalah: Pertama, memanfaatkan jasa teknologi elektronik; Kedua, memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan komputer networks); Ketiga, menggunakan bahan ajar yang bersifat mandiri (self learning materials) kemudian disimpan di komputer, sehingga dapat diakses oleh dosen dan mahasiswa kapan saja dan dimana saja; dan Keempat, memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar, dan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat di komputer.

E-Perkaderan Ikatan secara karakteristik sama, hanya saja dalam hal mengakses sistem tentu bukanlah dosen dan mahasiswa. E-Perkaderan Ikatan akan diakses oleh beberapa pihak diantaranya, pelaksana kegiatan, peserta kegiatan, tim instruktur, dan narasumber kegiatan.
Saya berandai-andai, IMM dalam hal ini mau menggunakan kecanggihan teknologi yang hari ini berkembang untuk diterapkan dalam perkaderannya atau dengan kata lain menerapkan E-Perkaderan Ikatan seperti yang dijelaskan di atas. Mengingat, E-Learning sendiri sudah banyak digunakan di beberapa kampus di Indonesia.

Namun demikian, mengembangkan E-Perkaderan Ikatan memang tidaklah mudah. Jika IMM ingin membangun sendiri, E-Learning yang sesuai dengan kebutuhan perkaderan ikatan, maka tentu dibutuhkan effort yang tinggi untuk merealisasikannya. Dari mulai konsep sampai menyiapkan uang untuk pengembangannya.

Kabar baiknya, saat ini telah banyak yang menyediakan jasa E-Learning gratis yang tinggal pakai. Dikutip dari sevima.com, ada lima aplikasi gratis yang bisa digunakan dalam penyelanggaraan E-Learning, misalnya EdLink, Moodle, Google Classroom, Edmodo, Schoology dan lain sebagainya. Tentu masih banyak lagi penyedia jasa E-Learning gratis. Tinggal browsing di Mbah Google, maka akan muncul sederet referensi sistem yang bisa digunakan dan dipilih mendekati aturan dalam sistem perkaderan ikatan (SPI). Soalnya jika mencari yang sesuai, bisa dipastikan tidak ada. Namanya juga gretong, ya default, tidak bisa customize.

Tapi jangan khawatir, kendati gratis penyedia-penyedia jasa tersebut sudah dibangun untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran daring. Hanya saja, jika IMM ingin mendapatkan sensasi yang berbeda dalam proses pembelajaran daring, tentu mengembangkan sistem sendiri menjadi jawabannya. IMM bisa menyesuaikan sistem yang dibangun dengan aturan dalam sistem perkaderan ikatan (SPI) sebagai rujukan IMM dalam menjalankan perkaderan.

"Berikut tambahan tulisan yang saya buat saat pandemi (17 Mei 2020)"

Saat ini juga, tengah banyak penyedia layanan yang menunjang proses pembelajaran. Diantaranya yang marak digunakan di tengah pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini. Antara lain Zoom dan Google Meet sebagai aplikasi penyedia layanan tatap muka secara online.

Bagi saya, pandemi ini adalah momentum kita untuk berpikir inovasi yang bisa diterapkan dalam perkaderan ikatan. Melalui ide-ide kreatif dari para pelaku organisasi, saya kira inovasi yang dikembangkan akan mampu diterapkan. Kembali, kita mau atau tidak.

Saya kira, konsep semacam ini sampai kapanpun tidak akan pernah diterapkan jika tidak ada kemauan dari para pelaku organisasi. Jika organisasi masih berkutat soal efektif dan tidak efektif, bukan fokus membahas agar konsep ini bisa dilakukan dengan layak dan dapat dikatakan efektif.

Perkaderan Ikatan Pasca Pandemi COVID-19: Back To Normal or The New Normal?

Sepertinya kita akan sangat merugi jika pasca pandemi, kita hanya akan kembali pada kondisi normal seperti sebelumnya. Saya cenderung berharap perkaderan ikatan mampu mengambil hikmah dari pandemi yang terjadi. Sehingga, daripada memilih untuk ‘Back To Normal’, IMM harusnya berpikir tentang ‘The New Normal’. Saya berharap, ke depan perkaderan ikatan secara teknis tidak hanya dilakukan tatap muka, tapi juga membolehkan atau menerapkan kebijakan- kebijakan perkaderan secara online. Jadi, ke depan ada tiga teknis pelaksanaan agenda perkaderan yakni secara offline (tatap muka), online, atau kombinasi offline dan online. Adapun dari sisi kurikulum tetap mengacu pada SPI yang berlaku.

Pertama, E-Perkaderan Ikatan.

Pasca pandemi ikatan menerapkan sistem perkaderan ikatan dengan konsep E-Learning sepenuhnya atau yang saya namakan E-Perkaderan Ikatan. Jadi, selain perkaderan yang dilakukan secara normal (tatap muka), ikatan juga memfasilitasi dengan mengeluarkan kebijakan tentang penerapan perkaderan daring bagi masing-masing level pimpinan yang tidak bisa menjalankan perkaderan secara normal atau dalam kondisi normal. Tentu, dengan syarat dan ketentuan tertentu dan masuk dalam kondisi “darurat”.

Secara definisi dan karakteristik seperti dijelaskan sebelumnya di atas. Dari sisi manfaat, menurut Pranoto, dkk (2009:309) manfaat E-Learning antara lain, pertama, meningkatkan suatu partisipasi aktif dari mahasiswa. Kedua, meningkatkan suatu kemampuan belajar mandiri mahasiswa. Ketiga, meningkatkan suatu kualitas materi pendidik serta juga pelatihan, dan keempat, meningkatkan suatu kemampuan untuk dapat menampilkan informasi dengan perangkat teknologi informasi, yang mana dengan perangkat biasa akan sulit dilakukan.

Manfaat lainnya (www.gurupendidikan.co.id), diantaranya, pertama, Efisiensi Biaya. E-learning tersebut memberi efisiensi biaya bagi administrasi penyelenggarannya, efisiensi penyediaan sarana serta juga fasilitas fisik untuk dapat belajar serta juga efisiensi biaya bagi pembelajar ialah biaya transportasi serta akomodasi. Kedua, Fleksibel. E-learning tersebut memberi fleksibilitas didalam memilih waktu serta juga tempat untuk dapat mengakses perjalanan. Ketiga, Belajar Mandiri. E-learning tersebut memberi kesempatan bagi pembelajar dengan secara mandiri memegang seluruh kendali atas keberhasilan dalam proses belajar.

Kelebihan E-learning ialah memberikan fleksibilitas, interaktivitas, kecepatan, visualisasi melalui berbagai kelebihan dari masing-masing media (Sujana, 2005 : 253 ). Menurut L. Tjokro (2009:187), E-learning memiliki banyak kelebihan yaitu pertama, lebih mudah untuk diserap, artinya ialah menggunakan fasilitas multimedia yang berupa suatu gambar, teks, animasi, suara, dan juga  video. Kedua, jauh lebih efektif didalam biaya, artinya ialah tidak perlu instruktur, tidak perlu juga minimum audiensi, dapat dimana saja, dan lain sebagainya. Ketiga, jauh lebih ringkas, artinya ialah tidak banyak mengandung formalitas kelas, langsung kedalam suatu pokok bahasan, mata pelajaran yang sesuai kebutuhan. Terakhir, tersedia dalam 24 jam per hari , artinya ialah penguaasaan dalam materi tergantung pada semangat dan juga daya serap siswa, bisa dimonitor, bisa diuji.

Adapun kekurangan E-Learning menurut Nursalam (2008:140) antara lain, pertama, kurangnya suatu interaksi antara pengajar serta juga pelajar atau juga bahkan antar pelajar itu sendiri. Kedua, kecenderungan tersebut dapat mengabaikan aspek akademik atau juga aspek sosial dan juga sebaliknya membuat tumbuhnya aspek bisnis atau juga komersial. Ketiga, proses belajar mengajar tersebut cenderung kearah suatu pelatihan dari pada pendidikan itu sendiri. Keempat, berubahnya suatu peran pengajar dari yang semula menguasai mengenai teknik pembelajaran yang konvensional, sekarang juga dituntut untuk dapat mengetahui teknik pembelajaran menggunakan ICT (information, communication, dan juga technology). Kelima, tidak semua tempat tersedia fasilitas internet yang baik.

Kedua, Perkaderan Blended Learning.

IMM ke depan juga bisa mendesain kebijakan lainnya seperti Konsep Perkaderan Blended Learning yakni kombinasi antara belajar offline dan online. Melalui kebijakan ini, proses perkaderan tidak melulu tatap muka, dan tidak semua dilakukan secara online, tetapi bisa dilakukan secara offline dan online. Melalui kebijakan ini, peserta didik juga akan mendapatkan sensasi baru saat mengikuti perkaderan.

Hasil penelitian yang dilakukan Dziuban, Hartman, dan Moskal (2004) menemukan bahwa program blended learning memiliki potensi untuk meningkatkan hasil belajar siswa dibandingkan dengan pembelajaran yang sepenuhnya pembelajaran online. Hal ini dikarenakan kekurangan yang ada pada E-Learning mampu dijawab dengan pembelajaran offline yang ada pada sistem pembelajaran Blended Learning. Ini artinya, segala kekurangan yang ditakutkan ketika IMM menerapkan E-Perkaderan Ikatan bisa ditiadakan dengan sistem Perkaderan Blended Learning. Selain itu, hasil temuan Rovai dan Jordan (2004) menyebutkan blended learning menghasilkan perasaan berkomunitas lebih kuat antar mahasiswa daripada pembelajaran tradisional atau sepenuhnya online.

Komposisi blended yang sering digunakan yaitu 50/50, artinya dari alokasi waktu yang disediakan, 50% untuk kegiatan pembelajaran tatap muka dan 50% dilakukan pembelajaran online. Atau ada pula yang menggunakan komposisi 75/25, artinya 75% pembelajaran tatap muka dan 25% pembelajaran online. Demikian pula dapat dilakukan 25/75, artinya 25% pembelajaran tatap muka dan 75% pembelajaran online. Pertimbangan untuk menentukan besaram komposisi, bergantung pada analisis kompetensi yang ingin dihasilkan, tujuan mata pelajaran, karakteristik pebelajar, interaksi tatap muka, strategi penyampaian pembelajaran online atau kombinasi, karakteristik, lokasi pebelajar, karakteristik dan kemampuan pengajar, dan sumber daya yang tersedia.

Nah, dengan banyaknya varian skema pelaksanaan perkaderan, baik offline, online, maupun kombinasi offline dan online, pastinya akan memudahkan penyelenggaraan agenda perkaderan dalam kondisi apapun. Saat kondisi normal, perkaderan offline bisa diselenggarakan sebagaimana mestinya. Sedangkan dalam kondisi darurat, maka E-Perkaderan Ikatan atau Perkaderan Blended Learning menjadi jawaban untuk dapat terus menjalankan agenda perkaderan. Dengan kata lain, penerapan skema perkaderan menyesuaikan kebutuhan dan kondisi dari masing-masing level pimpinan. Oleh karenanya, perlu dibuat syarat dan ketentuan serta pedoman dari pelaksanaan E-Perkaderan Ikatan atau Perkaderan Blended Learning.

Tentu, upaya mewujudkan hal ini, tidak sepenuhnya menjadi tugas dan tanggungjawab pemangku kebijakan di internal IMM. Semua unsur yang berkaitan dengan agenda harus terlibat dalam membuat grand design E-Perkaderan Ikatan maupun Perkaderan Blended Learning. Terutama para Instruktur sebagai garda terdepan dalam mengawal setiap agenda perkaderan di masing-masing level pimpinan.

Sunday, July 14, 2019

Narasi Baru IMM "Membangun Kemandirian, Membumikan Gerakan": Antara Refleksi Dan Resolusi?

7/14/2019 06:36:00 PM 1
Narasi Baru IMM "Membangun Kemandirian, Membumikan Gerakan": Antara Refleksi Dan Resolusi?

Seorang Ketua Umum bicara dengan lantang, "Kita butuh narasi baru!" Ya, sekilas memang tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut. Hanya saja, saya melihat pernyataan tersebut merupakan kegamangan dalam membangun gerakan baru di zaman yang baru. Zaman dimana yang berlaku adalah "Jahit luka saya dokter, tak usah menasihati saya soal pola makan, saya bisa browsing".

Desain kelembagaan yang baru dan adaktif terhadap perubahan zaman memang menjadi sebuah keharusan untuk dirumuskan. Pasalnya, kita semua tak mau kalau organisasi dimana tempat kita bernaung saat ini dibilang "Jadul" dan "Gagap". Oleh karenanya, kita butuh pemikiran-pemikiran segar dari para pelaku organisasi, khususnya para milenial yang hari ini meramaikan organisasi kita, Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah (IMM).

Baru-baru ini IMM merumuskan satu narasi baru hasil dari Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) IMM 2019 di Pekanbaru, Riau yaitu "Membangun Kemandirian, Membumikan Gerakan". Dalam sebuah perdiskusian saat perumusan ada yang berpendapat atau melihat narasi ini sebagai sebuah resolusi IMM di periode ini. Saya justru sebaliknya, ini adalah sebuah refleksi untuk segala fenomena atau permasalahan yang terjadi di tubuh organisasi. Bayangkan, di usia IMM 54 tahun, kita masih berkutat pada persoalan kemandirian dan membumikan gerakan. Pertanyaannya, selama ini kita "ngapain aja"? Sampai gagal men-create kelembagaan kita sebagai organisasi yang mandiri dan secara gerakan dirasakan oleh masyarakat umum. Ini berarti ada yang salah dengan desain gerakan kelembagaan kita, ada yang salah dengan kader-kader IMM. Karena mestinya itu semua sudah tuntas dan clear. What wrong with IMM?

DPP IMM tidak sepenuhnya salah saat mengusung narasi ini. Bahkan diakhir tulisan ini, saya katakan sudah cocok narasi yang dirumuskan DPP IMM. Saya yang juga terlibat dalam perumusan narasi ini di Komisi "D" pada saat Rakornas berlangsung, tidak sama sekali merubah wacana yang diangkat DPP dalam narasi ini, begitu juga dengan rekan-rekan yang lain. Saya menganggap ada benarnya apa yang hari ini akan diusung DPP IMM. Karena memang fakta dilapangan, apa yang ada dalam narasi tersebut menjadi anomali organisasi dan khusunya para kader IMM. Ya, soal kemandirian dan membumikan gerakan.

Dalam konteks kemandirian, kita bisa pelajari dari kader yang kelihatannya lebih suka menggunakan diksi "arahan kanda?" ketimbang "begini kanda!". Dari sini saja, kita bisa nilai (saya tidak menyimpulkan, hanya menilai), betapa kader tidak lagi mandiri dalam melakukan segala hal. Kader lebih memilih dicekokin ketimbang mengajak seniornya berdiskusi. Kader lebih memilih menunggu arahan, ketimbang bergerak atas nama kemanusiaan. Jika ada yang membantah ini tidak berlaku umum, saya sepakat, hanya saja apakah benar mereka yang tidak demikian itu bisa disebut mandiri? atau jangan-jangan semau-maunya sendiri? Ini hal pertama untuk sama-sama kita renungkan jika bicara kemandirian.

Saya jadi teringat, saat perdiskusian berlangsung di Komisi D, sedikit saya menambahkan kala itu, mengenai kemandirian. Menurut saya, kata kemandirian layak untuk ditambahkan dengan kata "kolektif" atau Kemandirian Kolektif. Bagi saya, kemandirian semestinya bisa diarahkan atau dilakukan secara kolektif dengan melibatkan kader-kader IMM seluruh Indonesia dalam merealisasikannya. Mandiri tidak melulu dimaknai secara individual, namun juga harus dipandang sebagai gerakan kelompok. Alasan lain dari penambahan kata ini, saya melihat rendahnya gerakan kolektif IMM. Padahal kolektif itu modal kemandirian kelompok. Jika rasa kolektif ini sudah benar-benar tertanam, maka segala hal yang dilakukan IMM untuk mewujudkan kemandirian bisa dengan cepat terealisasi.

Berikutnya soal membumikan gerakan. Huft, untuk yang satu ini saya agaknya sedikit bingung berpendapat. Bukan tidak bisa. Begini, pertanyaan saya, "Kok bisa IMM yang dibentuk dengan semangat sosial kemasyaratan justru masih bicara membumikan gerakan?" Apa memang selama ini kita hanya melangit dan menjadi menara gading karena keintelektualan kita? Apa kita selama ini melihat persoalan dari mata elang bukan mata cacing? Jika benar demikian, maka sudah cocok narasi yang dirumuskan DPP IMM mengenai membumikam gerakan. Tapi di sisi lain, boleh tidak saya katakan ini adalah indikasi bahwa IMM selama ini kurang hadir di tengah-tengah masyarakat. Buktinya kita masih mengangkat isu seputar membumikan gerakan. Sebab bagi saya, membumikan gerakan adalah hal yang embedded pada setiap program kerja yang dicanangkan. Program kerja harus bisa membumi dan sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat umumnya dan IMM khususnya.

Semoga apa yang dituliskan saya adalah sebuah kekeliruan. Tentu, jika narasi DPP IMM hari ini adalah sebuah resolusi, maka sepatutnya kita berharap IMM ke depan, baik organisasi maupun kadernya, mampu mandiri dan lebih dirasakan gerakannya oleh masyarakat umum.

Pun demikian, menurut saya, titik temu antara refleksi dan resolusi, maka konteks kemandirian dan membumikan gerakan baiknya simultan dengan pengembangan-pengembangan baru untuk gerakan IMM. Saya membayangkan di zaman milenial ini, IMM mengembangkan hal-hal yang identik dengan gerakan kekinian atau sebut saja gerakan para milenial, gerakan yang akrab dengan hal-hal baru berbasis digital dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tentu dalam konteks IMM, maka nilai-nilai Amar Ma'ruf Nahi Munkar tetap harus menjadi dasar dari gerakan baru tersebut. Misal dakwah virtual kader ikatan via youtube, online shop ikatan, dan lain sebagainya. Saya kira ini bisa dijadikan salah satu upaya mencapai kemandirian organisasi dari sisi financial, sebab ada dana yang dihasilkan dari model gerakan semacam itu.

Sekali lagi terlepas dari apa yang saya tuliskan dalam memaknai narasi baru ini dianggap sebagai sebuah kekeliruan. Saya berharap bahwa membangun kemandirian, membumikan gerakan yang dimaksudkan DPP IMM adalah kemandirian dan membumikan gerakan yang didesain dengan memadukan gerakan kekinian atau gerakan para milenial. Semoga.