
Ketersediaan infrastruktur menjadi salah satu elemen penting dan arus utama dalam mengukur intensitas distribusi logistik barang. Proses ini merupakan keharusan untuk diperhatikan dan tidak bisa dikesampingkan. Bayangkan saja, andai kata akses infrastruktur tidak disediakan, seperti jalan raya, jalur kereta api, jalur angkutan laut dan darat, betapa susahnya nasib masyarakat yang berada di daerah lokal pedalaman. Menjalani kehidupan publik tanpa mobilisasi logistik karena tidak mendapatkan akses yang baik guna mengukur intensifikasi pertukaran barang publik tersebut. Sehingga, berdampak pada masyarakat yang terisolasi berakibat jauh dari hingar-bingar masyarakat maju atau perkotaan.
Di mahfumi, pembangunan infrastruktur yang baik mampu mendukung dan mendorong prioritas pembangunan seluruh sektor. Oleh karenanya, kehadiran infrastruktur publik menjadi faktor penentu dalam melancarkan mobilitas akses masyarakat. Jika tidak, dipastikan konektivitas terhambat bagi perkembangan masyarakat pada aspek ekonomi yang tertular ke sektor lainnya. (Baca selanjutnya)
Tingginya Biaya Logistik
Jika ingin terlibat dalam percaturan ekonomi baik global maupun regional, infrastruktur publik harus diperbaiki sebagai penunjang akses perekonomian yang memadai. Semua harus siap, baik jalur darat, udara maupun laut. Hal Ini dalam rangka merangsang dan menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui distribusi logistik barang. Distribusi yang lancar akan berdampak pada meningkatnya produksi yang dihasilkan para produsen. Selain itu, hal ini juga dalam rangka menjaga ritme stabilitas tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi.
Peneliti Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Ina Primiana mengatakan ongkos pengiriman barang dari Jakarta ke kota Hamburg (11.000 km) lebih murah dibandingkan Jakarta - Padang (1.000 km). Selain itu, pengiriman barang dari Sumatera - Kalimantan, masih harus melewati Jakarta terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan Indonesia mengalami permasalahan infrastruktur yang tertopang untuk mendukung konektivitas arus utama logistik. Bila dibandingkan Thailand, infrastrukturnya dibangun dalam rangka untuk membantu industri-industri negara tersebut. Sehingga, bisa menekan biaya angkut logistik. Sedangkan, di Indonesia tidak demikian, pembangunan infrastruktur selama ini tidak menjawab kebutuhan industri. Padahal jika berhasil, biaya transportasi logistik Indonesia tentu bisa lebih murah dibanding sekarang. (kompas.com, 13/03/2015)
Berdasarkan data Price Waterhouse Cooper (PWC) tahun 2014 ditemukan bahwa biaya infrastruktur Indonesia sebesar 3,1 persen sedangkan Thailand hanya 1,3 persen. Namun berdasarkan data Indonesia Investment 2013, ditemukan biaya logistik Thailand lebih rendah 7 persen dari Indonesia yang sebesar 27 persen dari PDB.
Realitas ini sudah tentu merugikan para pelaku usaha yang harus mendistribusikan produknya ke daerah-daerah seluruh Indonesia. Persoalan infrastruktur transportasi logistik yang belum memadai, bisa berdampak pada tingginya harga jual produk yang disebabkan biaya logistik Indonesia meningkat tajam, sehingga mengurangi tarikan daya saing iklim investasi. Menurut data yang diterbitkan kadin Indonesia sekitar 17 persen dari total pengeluaran perusahaan yang diserap oleh biaya logistik.
Kendati demikian, terbatasnya ketersediaan infrastruktur publik bukan saja dirasakan oleh Negara Indonesia tetapi dieluhkan juga oleh negara lain. Tahun lalu, tepatnya tanggal 1-5 September 2014 diadakan pertemuan para ahli APEC yang dihadiri oleh negara-negara anggota APEC bertempat di Pusat Kajian APEC Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) menyoroti soal buruknya layanan infrastruktur arus utama transportasi lalu lintas pengiriman logistik. Pertemuan itu juga, membahas pola kebijakan strategi antisipatif ledakan pertumbuhan penduduk yang diprediksi akan terjadi mulai tahun 2015 hingga 2040. Paling urgensi, para ahli merekomendasikan kebijakan strategi dengan pendekatan kolektif antar negara untuk pembangunan infrastruktur kota-kota di berbagai kawasan negara APEC, terutama melalui pola terpadu Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS). (Kompas.com, 01/09/2014)
Kebijakan Kurang Tepat
Pembangunan infrastruktur memang menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya. Sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat (3) dikatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak termasuk infrastruktur. Hanya saja ketika pemerintah tidak mampu dalam hal pembiayaan, maka pemerintah diperbolehkan mengambil kebijakan kerjasama untuk menunjang terealisasinya pembangunan infrastruktur tersebut.
Selama ini, masalah utama bagi pemerintah Indonesia kurang maksimalnya investasi di wilayah infrastruktur negara, lebih khusus pada daya serap nominal keuangan negara dalam struktur anggaran APBN. Oleh karenanya, harus dipahami betul bahwa pembangunan infrastruktur tidak bisa dikerjakan begitu saja, perlu kemitraan strategis yakni melibatkan investor swasta. Tentu, dalam menerapkan pola kemitraan, pemerintah harus selektif memasarkan potensi perekonomian Indonesia guna menarik investor, seperti, menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Kajian McKinsey Global Institute memperlihatkan, ketimpangan banyak terjadi di negara-negara APEC termasuk Indonesia. Karena terjebak dalam situasi ketidakmampuan untuk menjalankan program pembangunan infrastruktur maupun mengundang investasi masuk secara sungguh-sungguh. Salah satunya ditengarai oleh kerangka kebijakan yang kurang tepat dan tidak menguntungkan.
Rupanya, kajian tersebut dianggap angin lalu oleh pemerintahan dan bersifat abai. Padahal Indonesia sangat butuh biaya untuk memperluas pendapatan negara sehingga pembangunan infrastruktur bisa meningkat. Apalagi, pemerintah berjanji mengutamakan proyek infrastruktur dalam lima tahun ke depan untuk perlancar arus ekonomi barang.
Seperti diketahui melalui berbagai pemberitaan di media, salah satu visi misi pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) pada saat kampanye adalah soal kemandirian. Indonesia harus menggunakan dana sendiri dan menolak bentuk utang baru supaya bisa mengurangi beban utang setiap tahun. Untuk menggenjot pembiayaan program-program ekonomi, seperti pembangunan jalan, infrastruktur laut, bandara dan sebagainya dengan cara memaksimalkan penerimaan negara.
Hal tersebut, diungkap pula oleh JK pasca terpilih menjadi wakil presiden RI. JK mengungkapkan alokasi dana dalam APBN ke depan akan lebih ditingkatkan untuk mengatasi ketertinggalan di sektor infrastruktur dibanding beberapa negara tetangga. Di masa pemerintahannya, JK menargetkan anggaran pembangunan infrastruktur akan meningkat hingga 100 persen dari anggaran infrastruktur sekarang. sekitar Rp 150-200 triliunmenjadi Rp 200-400 triliun. Kenaikan anggaran tersebut ke depan paling banyak akan bersumber dari pengalihan subsidi sektor konsumtif dan peningkatan pajak (Liputan6.com, 9/12/2014).
Namun apa hendak dikata, faktanya berbalik seratus delapan puluh derajat. Alih-alih ingin melakukan pembangunan infrastruktur secara gencar, tetapi di sisi lain utang luar negeri Indonesia semakin melejit dan kembali menodai kemandirian ekonomi Indonesia.
Menjawab Persoalan
Pertama, “ketidakwarasan logika” APBN terhadap pembiayaan infrastruktur harus diminimalisir, agar pemerintah tidak melakukan banyak utang untuk mendanai infrastruktur publik yang akan dibangun. Menaikkan alokasi anggaran pembangunan infrastruktur dari APBN adalah langkah yang tepat untuk dilakukan. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir, infrastruktur yang dibangun pemerintah hanya menghabiskan alokasi relatif kecil dari belanja publik. Pada tahun 2011 hanya 2,1 persen dari PDB negara yang disediakan untuk infrastruktur. Angka tersebut termasuk salah urus serta birokrasi yang mengurangi efektivitas dana tersebut (indonesia-investments.com).
Kedua, meningkatkan investasi pada sektor infrastruktur publik. Ketidakmampuan APBN untuk mencukupi pembangunan infrastruktur sebisa mungkin mengoptimalkan APBN dan peran investor asing yang berkemauan memberikan menanamkan modalnya. Jangan terburu-buru melakukan utang.
Head of Equities and Research, UBS Indonesia Joshua Tanja menjelaskan (liputan6.com, 10/03), keseriusan pemerintah di sektor infrastruktur yang terlihat sangat jelas membuat investor tampak menggilai sektor tersebut. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga Senin 9 Maret 2015, sektor saham konstruksi dan properti naik 4,10 persen ke level 546,43. Sementara itu, sektor saham infrastruktur, utilitas dan transportasi turun 2,37 persen ke level 1.132,83. Angka tersebut harus dioptimalkan pemerintah karena sebetulnya investor asing masih menggilai sektor infrstruktur.
Ketiga, melakukan dialog dengan masyarakat dalam setiap wacana pembangunan infrastruktur, agar infrastruktur yang akan dibangun semata-mata dalam rangka membantu berkembangnya aktivitas perekonomian masyarakat. Selain itu, supaya masyarakat bisa menggunakan dan mengerti akan manfaat infrastruktur yang akan dibuat. Serta, turut mensukseskan pembangunan dan menjaga ketika infrastruktur tersebut sudah terealisasi.
Keempat, berhenti berhutang jika budaya korupsi masih merajalela, karena tidak menutup kemungkinan yang terjadi nanti adalah prasmanan dana pembangunan infrastruktur. Akibatnya, baik kuantitas maupun kualitas infrastuktur jauh dari harapan, apa adanya dengan alibi efisiensi anggaran.
Kelima, hilangkan pungli untuk setiap kawasan di daerah yang terdapat infrastruktur publik. Banyaknya pungli secara relatif bisa mengakibatkan masyarakat tidak interest lagi menggunakan infrastruktur publik yang disediakan.
Keenam, menyederhanakan birokrasi penggunaan infrastruktur. Hal ini perlu dilakukan karena selama ini birokrasi Indonesia terkenal ngejlimed dan cenderung menyusahkan para pelaku usaha sebagai pengguna.
Tulisan ini dipublish di media cetak tangselos
No comments:
Post a Comment