Utang Luar Negeri Membengkak - Suparman Kadamin

Saturday, August 22, 2015

Utang Luar Negeri Membengkak


Dampak resesi ekonomi global yang melanda Indonesia saat ini tentunya menjadi polemik yang mengkhawatirkan. Ditengah-tengah maraknya pemberitaan media massa soal kenaikan dollar AS, muncul persoalan utang luar negeri (ULN) yang agaknya kurang menjadi sorotan media. Diluar dugaan, akhir tahun 2014 hingga awal tahun 2015, ULN Indonesia sudah berjalan dan menumpuk.

Bank Indonesia (BI) mencatat, utang luar negeri Indonesia selama Januari mencapai 298,6 miliar dollar AS. Porsi ini naik 2,05 persen dibandingkan utang luar negeri pada Desember 2014 sebesar 292,6 miliar dollar AS. Secara tahunan atau year on year (YoY), utang luar negeri Indonesia tumbuh 10,1 persen dibandingkan periode yang sama di 2014 (kompas.com, 20/03/2015).

Melalui pemberitaan yang sama, utang swasta menyumbang porsi terbesar dari total ULN Indonesia pada Januari 2015 dengan nilai 162,9 miliar dollar AS atau 54,6 persen. Dari data BI, penyumbang terbesar utang swasta pada Januari 2015 berturut-turut berasal dari sektor keuangan sebesar 47,2 miliar dollar AS, industri pengolahan (32,2 miliar dollar AS), pertambangan (26,4 miliar), serta listrik, gas, dan air bersih sebesar 19,2 miliar dollar AS.

Jika melihat kondisi di atas, lemahnya nilai tukar rupiah sekarang ini relatif ada hikmahnya karena Paling tidak, mampu menekan permintaan swasta terhadap ULN yang semakin menggila. Bagaimanapun, menggemuknya ULN bisa mengakibatkan risiko yang dapat mengganggu stabilitas makro ekonomi Indonesia.

Kendati demikian, tidak serta-merta kenaikan dollar dianggap baik bagi kondisi perekonomian nasional. Sebab, selama ini ekonomi nasional ditopang oleh usaha yang pengadaan bahan baku berskala impor. Mengingat produksi nasional tidak mencukupi untuk kebutuhan nasional, seperti usaha tahu-tempe yang sedang menggeliat. Jika tidak segera diatasi maka kenaikan dollar tersebut akan berimplikasi pada turunnya produksi. Selain itu, penurunan permintaan ULN yang terjadi pada awal tahun 2015 lebih cenderung disebabkan oleh kegiatan produksi yang masih belum gencar dilakukan oleh swasta.

Antisipasi ULNEkonom Lana Soelistyaninsih dari lembaga Samuel Asset Management (2015) memperkirakan, pada Maret tahun ini, porsi utang swasta akan kembali membengkak seiring kembalinya aktivitas produksi sektor swasta secara besar-besaran sebagai antisipasi menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Meski demikian, penambahan tersebut juga diprediksikan tak signifikan (kompas.com, 20/03/2015).

Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan langkah strategis pemerintah dalam jangka pendek. Sudah menjadi kewajiban pemerintah dan BI harus tetap memantau perkembangan ULN swasta agar tidak menimbulkan risiko bagi kondisi perekonomian nasional. Kepala Ekonom Bank Internasional Indonesia (BII) Juniman menilai, BI dan pemerintah masih memiliki cara untuk menurunkan laju ULN Swasta. Yakni, pemerintah dan BI mengendalikan dan mengawasi uang sektor swasta. Aturan tentang penerapan prinsip kehati-hatian ULN swasta perlu ditindaklanjuti dengan pengawasan agar swasta taat aturan. Cara lain ialah pemerintah membatasi rasio utang terhadap modal. Faktanya, banyak swasta berutang hingga 20 kali dari modalnya. Jika rasio utang dibatasi, swasta tidak akan gencar mencari utang ke luar negeri (kompas.com, 20/03/2015).

Dilematis Kebijakan dan Solusinya

Apabila cara-cara tersebut akan betul dilakukan pemerintah dan BI maka yang menjadi persoalan selanjutnya bagaimana dengan permodalan swasta sendiri? Kemudian, bagaimana swasta memenuhi kebutuhan masyarakat yang hari ini tingkat konsumsinya semakin menggunung? Oleh sebab itu, pemerintah juga dituntut untuk mengupayakan mudahnya akses kredit permodalan bagi swasta yang membutuhkan modal besar dalam pengembangan usahanya. Akan tetapi, bukan berarti upaya yang nanti akan dilakukan adalah dengan mendatangkan investor-investor asing ke dalam negeri. Hal tersebut sama saja dengan menumpuhkan usaha-usaha dalam negeri kepada kepemilikan modal asing. Kalau sudah begitu, mustahil Indonesia akan menjadi negara yang mandiri dalam ekonomi.

Hal yang bisa dilakukan pemerintah diantaranya, pertama, menciptakan iklim yang kondusif dalam membangun kemitraan antara pelaku usaha, baik usaha sektor formal (swasta) dengan sektor informal (pertanian, perkebunan, dll) maupun dengan pemilik modal dalam negeri. Pemerintah diharapkan bisa bertindak sebagai fasilitator bagi bertemunya antar pelaku usaha tersebut. Atau bisa dengan melalui lembaga swadaya masyarakat yang dilegalkan oleh kebijakan, seperti halnya koperasi.

Kedua, memberikan privilidge terhadap pelaku usaha yang melakukan kemitraan. Seperti, memberikan proteksi terhadap produk yang dihasilkan oleh swasta, memberikan subsidi kepada sektor informal dalam rangka meningkatkan produktivitas, serta bersedia menjadi penjamin terhadap modal yang disalurkan investor lokal. Dengan pola kemitraan tersebut diharapkan mampu membangun perekonomian nasional yang mandiri. Selain itu, melibatkan peran aktif masyarakat sebagai pelaku usaha juga penting dilakukan demi mewujudkan demokrasi ekonomi di Indonesia.

Sumber Gambar: klik disini

No comments:

Post a Comment