Menyuarakan Kontrak Sosial Menjelang Pemilukada - Suparman Kadamin

Sunday, August 23, 2015

Menyuarakan Kontrak Sosial Menjelang Pemilukada



Seperti diketahui, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) pada tahun ini masuk ke daftar salah satu kota yang akan menggelar pemilukada serentak. Seperti biasa, saat kampanye masyarakat akan menyaksikan betapa partai politik dan kandidat yang diusungnya “melacurkan” diri saat kampanye. Tentunya dengan menjual janji-janji manis (dibaca: muluk). Akan tetapi, yang menjadi kekhawatiran adalah ketika janji-janji tersebut hanyalah lip service untuk menarik simpati publik.

Fenomena kampanye tersebut dalam perkembangan praktik politik
modern dikategorikan sebagai sebuah kontrak sosial dalam bentuk mekanisme pemilihan umum (pemilu). Adi Sasono (2008) dalam bukunya “Rakyat Bangkit Bangun Martabat” menjelaskan bahwa pada dasarnya pemilu adalah sebuah kontrak sosial antara pemilih pada para kandidat bila mereka terpilih. Para kandidat terpilih ini kemudian akan mengelola sebuah struktur kekuasaan tertentu serta memproduksi berbagai keputusan politik. Keputusan politik tersebut akan berimbas secara langsung pada masyarakat pemilih, baik berupa imbas positif maupun negatif (Adi Sasono, 2008).
Lebih lanjut, Adi Sasono menggambarkan bahwa kontrak sosial dalam kajian politik, sebenarnya hakikat maknanya sama dengan kontrak dalam ilmu hukum maupun ilmu ekonomi, yakni adanya pihak-pihak yang bersepakat mengadakan perjanjian untuk mencapai tujuan bersama. Sebagai sebuah kontrak, pemilu memuat perjanjian antara rakyat dengan mereka yang diberi mandat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Kontrak ini dibuat dengan partai pemenang pemilu sebagai bukti bahwa program-programnya sesuai dengan aspirasi rakyat. Ketika seseorang memberikan suaranya pada salah satu partai atau kandidat, maka hakikatnya suara tersebut menjadi simbol persetujuan rakyat terhadap program-program partai atau kandidat yang bersangkutan.

Oleh karenanya, menarik mencermati bagaimana kontrak sosial yang akan disepakati oleh masyarakat dengan para kontestan pemilukada Tangsel? Perlu bagi masyarakat Tangsel mamahami pemaknaan kontrak sosial tersebut. Pemilukada harus dimaknai oleh masyarakat Tangsel sebagai sebuah ajang untuk membuat kesepakatan antara masyarakat sebagai pemilih dan kandidat selaku yang akan memegang amanah. Bagaimanapun, kandidat adalah mereka yang akan memimpin Tangsel selama lima tahun ke depan. Masyarakat perlu sadar akan posisi tawarnya yang tinggi. Sebab, kesadaran inilah yang nantinya akan menstimulus dilakukannya kontrak sosial.

Pra-Kontrak Sosial
Instrumen-instrumen dalam kontrak sosial secara sederhana, diantaranya; ada masyarakat selaku pemilih, ada kandidat selaku yang dipilih, dan ada yang menjadi objek kontrak. Dalam kontrak sosial kaitannya dengan pemilukada, masyarakat jelas memiliki nilai tawar yang tinggi sebagai pemilih dalam mekanisme one man one vote tersebut. Mau tidak mau, kandidat harus lihai dalam merebut hati rakyat melalui program-program yang akan dijalankan sebagai objek kesepakatan kontrak.

Dalam kondisi seperti ini, mensinergikan pilihan publik (public choice) terhadap program-program tersebut akan sangat menentukan suksesnya kandidat dalam pemilukada. Sebab, kandidat harus mahfum bahwa pilihan publik bukan saja soal bagaimana memilih karakteristik pemimpin. Lebih dari itu, pilihan publik cenderung melihat dampak positif yang akan terjadi bilamana kandidat-kandidat tersebut terpilih.

Namun demikian, sebelum berbicara lebih jauh tentang bagaimana kontrak sosial atau kotrak politik tersebut, beberapa hal yang harus dihilangkan terlebih dulu dari budaya masyarakat pada saat pemilu, diantaranya; pertama, golongan putih (golput). Masyarakat harus sadar bahwa partipasinya dalam pemilu merupakan bukti keseriusannya dalam kontrak sosial..

Kedua, untuk meningkatkan kualitas kontrak sosial, masyarakat harus menolak segala iming-iming agar suaranya bisa dibeli. Sebagai pembuktian bahwa masyarakat tidak bisa disogok. Ketika hal ini sudah diaplikasikan, maka akan memberikan value added terhadap kontrak yang disepakati.

Tuntutan Kebijakan EkonomiSudah semestinya masyarakat dituntut cerdas dalam memilih pemimpin (termasuk memilih partai pengusung) yang betul-betul pro-rakyat. Termasuk, memilih pemimpin yang mampu bekerja sesuai dengan kontrak sosial yang disepakati. 

Masyarakat Tangsel diharapkan dalam membangun kontrak sosial lebih menekankan pada aspek ekonomi sebagai objek kontrak. Mengapa demikian? Realitas bahwa perekonomian masyarakat pribumi yang termarginalkan dan cenderung hidup dipinggiran kebijakan ekonomi.

Ketimpangan kontribusi PDBR Tangsel yang diperlihatkan data BPS setiap tahunnya menjadi bukti bahwa meningkatnya pertumbuhan ekonomi Tangsel selama ini tak lain ditopang oleh usaha berskala besar dengan kepemilikan modal yang menggunung. Dari total PDRB tangsel 2013 saja, sektor informal (pertanian, perikanan, peternakan, dll) hanya menyumbang sebesar 133.726,57 juta rupiah dari 17.136.973,82 juta rupiah. Fenomena inilah yang harus mampu dituangkan oleh masyarakat dalam kontrak sosial yang akan dibuat dengan kandidat. Serta menjadi sebuah tuntutan untuk dilakukannya pemberdayaan ekonomi masyarakat yang lebih aplikatif dan efektif.

Bagi kandidat sendiri, hal ini harus menjadi pertimbangan untuk diperjuangkan jika ingin menarik simpatik masyarakat, khususnya masyakat ekonomi bawah, ekonomi kerakyatan dan ekonomi masyarakat pinggiran (slum dan squatter). Kaitan dengan menarik simpatik masyarakat tersebut, Adi Sasono (2008) merekomendasikan beberapa agenda yang bisa dilakukan kandidat.

Pertama, memperjuangkan dan memberikan perhatian pada program kota yang didalamnya berpotensi memunculkan penggusuran atau minimal pemarginalan masyarakat miskin yang notabene pelaku usaha mikro. Pasalnya, selama ini pola penggusuran justru melahirkan orang miskin baru yang kehilangan tempat tinggal dan kebingungan untuk meneruskan pekerjaan mereka, serta kehidupan keluarganya menjadi telantar.

Kedua, memperjuangkan kebijaksanaan permodalan bagi sektor koperasi, Usaha Kecil Menegah (UKM) ataupun Usaha Mikro, Kecil dan menengah (UMKM) sehingga rakyat miskin (economically active poor) dapat memiliki akses pada sumber permodalan untuk mendukung perputaran roda usahanya.

Ketiga, memperjuangkan program pengembangan koperasi, UKM, dan UMKM yang tepat. Misalnya, dalam bentuk konsultasi dan pendampingan, karena pada prinsipnya masalah yang dihadapi lembaga ekonomi rakyat ini tidak semata masalah modal.

Keempat, memperjuangkan kebijakan level makro yang berpihak pada produsen lokal (koperasi, UKM, dan UMKM), agar produk mereka bisa kompetitif dan survive berhadapan dengan produk asing yang terus membanjiri pasar Indonesia (terlebih akan mulai diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN).

Kelima, memperjuangkan kebijakan corporate social responsibility agar perusahaan besar terlibat dalam upaya pemberdayaan koperasi, UKM, UMKM dan masyarakat pada umumnya. Misalnya, dengan menerapkan hubungan link anda match dengan koperasi, UKM, dan UMKM.

Keenam, kesediaan segenap aktor dalam panggung politik daerah untuk bekerja sama dengan semua pihak (multi-stakeholders). Secara bersama berikhtiar mengembalikan tatanan perekonomian daerah ke arah yang lebih baik melalui pengembangan ekonomi kerakyatan dalam wadah koperasi, UKM, dan UMKM.

Kaitannya dengan tuntutan pemberdayaan ekonomi masyarakat, Sritua Arief (2002) mengemukakan beberapa langkah strategis yang harus ditempuh dalam proses pemberdayaan yang juga harus diperjuangkan para kandidat, ringkasnya antara lain; pertama, peningkatan akses kesempatan (access of opportunity) terhadap hal-hal yang selama ini sangat tertutup peluangnya bagi pengembangan ekonomi rakyat. Misalnya, akses terhadap aset produksi seperti tanah, modal, dan teknologi.

Kedua, memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha antar pelaku ekonomi. Peningkatan posisi tawar ini bisa dilakukan melalui pengembangan dan pembangunan prasarana dan sarana perhubungan yang akan memperlancar pemasaran suatu produk.

Ketiga, meningkatkan mutu SDM yang mengarah pada lahirnya para wirausaha yang kompetitif, termasuk penumbuhan semangat bekerja dan jiwa kewirausahaan, terutama dikalangan pemudanya, sebagai pelaksana pembangunan masa yang akan datang.

* Tulisan ini dipublish media cetak Tangselpos
Sumber Gambar: klik disini

No comments:

Post a Comment