Ekonomi Indonesia Lesu? - Suparman Kadamin

Friday, November 23, 2018

Ekonomi Indonesia Lesu?

Banyak yang mengatakan di beberapa pemberitaan media online bahwa kondisi ekonomi Indonesia pada triwulan I 2015 seperti mobil yang ngerem mendadak. Bayangkan, apa yang terjadi ketika mobil berhenti secara tiba-tiba? Sudah tentu penumpang akan merasakan kekagetan yang luar biasa dan hilang kenyaman. Apalagi, kalau ternyata pengemudi sedang dalam kondisi asyik-asyiknya memacu mobil dengan kecepatan tinggi.


Kondisi tersebut juga menganalogikan tentang kondisi industri-industri di Indonesia saat ini. Pelaku industri yang tengah gencar meningkatkan produksi harus dihantam terpaan depresiasi rupiah yang mengakibatkan melambungnya biaya produksi. Sedangkan seperti diketahui, selama ini indutri-industri tersebut sangatlah bergantung pada bahan baku impor. Selain itu, kondisi tersebut semakin diperparah dengan naiknya tarif dasar listrik maupun naik turunnya harga BBM yang ditetapkan pemerintah.

Bukan hanya itu, apa yang dirasakan industri sekarang ini, dirasakan pula oleh masyarakat ditandai dengan surutnya daya beli masyarakat. Imbasnya, jika daya beli turun maka tentunya perusahaan akan menurunkan tingkat produksi dan menekan biaya. Hal tersebut secara otomatis berdampak pada lesunya ekonomi Indonesia. Sedangkan yang perlu digarisbawahi adalah soal bergantungnya perekonomian Indonesia pada ekonomi berskala besar. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2015 hanya mencapai kurang lebih 4,7%, kurang sedikit dari target yang direncanakan yaitu sebesar 5%. Tidak tercapainya target tersebut bisa jadi dikarenakan oleh kondisi yang digambarkan di atas. Selain itu, beberapa hal lain yang bisa jadi akan terjadi akibat kondisi tersebut seperti salah satunya banyaknya karyawan yang di PHK dalam rangka penghematan perusahaan. Tentunya akan menambah jumlah pengangguran di Indonesia.

Industri sendiri, mau tidak mau, suka tidak suka, dihadapkan hanya pada dua pilihan yaitu bertahan atau menutup usahanya. Tentu, bagi industri yang tidak siap, menutup usaha adalah hal yang tidak bisa dielakkan. Akan tetapi, bagi industri yang memilih bertahan, ketersediaan modal akan sangat menentukan.

Kaitan dengan ketersediaan modal, tak sedikit industri yang mengandalkan suntikan utang luar negeri (ULN). Bank Indonesia (BI) mencatat, ULN Indonesia selama Januari mencapai 298,6 miliar dollar AS. Porsi ini naik 2,05 persen dibandingkan ULN pada Desember 2014 sebesar 292,6 miliar dollar AS. Secara tahunan atau year on year (YoY), utang luar negeri Indonesia tumbuh 10,1 persen dibandingkan periode yang sama di 2014. Utang swasta menyumbang porsi terbesar dari total ULN Indonesia pada Januari 2015 dengan nilai 162,9 miliar dollar AS atau 54,6 persen. Dari data BI, penyumbang terbesar utang swasta pada Januari 2015 salah satunya industri pengolahan sebesar 32,2 miliar dollar AS, dibawah sektor keuangan 47,2 miliar dollar AS. Setelah industri, diikuti pertambangan 26,4 miliar, serta listrik, gas, dan air bersih sebesar 19,2 miliar dollar AS. (kompas.com, 20/03/2015)

Tingginya ULN tersebut kemungkinan disebabkan karena tidak adanya lembaga pembiayaan di Indonesia yang fokus pada penangan masalah modal untuk sektor industri di Indonesia. Kalaupun ada, tingkat suku bunga Indonesia yang tinggi menyebabkan tidak tertariknya pelaku industri untuk mengajukan kredit. Hal ini juga membuat besarnya peluang tercaploknya perusahaan-perusahaan industri oleh kepemilikan modal asing melalui penanaman saham.

Kondisi ekonomi Indonesia yang demikian sudah barang tentu menyulitkan industri Indonesia untuk bersaing, baik dalam skala regional ASEAN maupun internasional. Biaya produksi menjadi masalah serius yang harus dihadapi dan segera untuk dicarikan solusinya oleh pemerintah. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada akhirnya kebergantungan berkaitan dengan permodalan maupun bahan baku akan semakin menjauhkan Indonesia dari kemandirian ekonomi. Selain itu, Realitas perekonomian Indonesia yang bertumpu pada usaha berskala besar membuat pengembangan ekonomi Indonesia pastinya tersendat akibat kondisi tersebut.

Mengembangkan Ekonomi Kerakyatan

Kaitan dengan itu, sudah saatnya pemerintah memaksimalkan kehadiran ekonomi kerakyatan. Ini penting mengingat ditengah krisis yang terjadi sekarang ini, ekonomi kerakyatan tetap survive, tidak ikut-ikutan lunglai. Kalau dipahami, sebetulnya, keberhasilan ekonomi kerakyatan sebagai bantal pengaman bukan kali pertama terjadi. Bahkan, krisis luar biasa yang melanda Indonesia tahun 1997 sudah sangat membuktikan betapa ekonomi kerakyatan mampu membangkitkan perekonomian Indonesia yang nyaris tewas saat itu.

Ekonomi kerakyatan merupakan kegiatan yang menghidupi kita setiap hari. Selain koperasi, salah satu wujud lain ekonomi kerakyatan adalah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Adi  Sasono (2008) mengungkapkan bahwa dalam situasi dan kondisi perekonomian yang belum juga pulih serta ketidakpastian sosial, poltik,  dan keamanan yang mendera Indonesia, usaha kecil menjadi salah satu pelaku ekonomi yang menjadi tumpuan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, usaha kecil memiliki pangsa pasar (market share) yang relatif besar. Tingkat survival usaha kecil dalam krisis ekonomi disebabkan karena usaha yang dilakukan oleh kelompok ini adalah usaha yang berhubungan langsung dengan kebutuhan masyarakat. Kalau sendi-sendi ini tidak berjalan, kegiatan ekonomi masyarakat yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat akan macet. Karena sifat ini, walaupun terjadi krisis, mereka masih bisa tetap hidup.Daya survival tersebut juga disebabkan usaha kecil di Indonesia tidak terlalu terkait dengan kredit perbankan seperti halnya yang membelit kelompok usaha berskala besar.

Semoga dengan memaksimalkan kehadiran ekonomi kerakyatan, pertumbuhan ekonomi nasional yang diharapkan mampu tercapai, bahkan lebih. Pemerintah harus merekonstruksi pengembangan ekonomi melalui strategi-strategi ekonomi dengan melihat potensi ekonomi kerakyatan. Pengembangan ekonomi berbasis ekonomi kerakyatan harus digalakkan secara masif ditengah kondisi ekonomi global yang semakin tidak menentu. Serta, guna mengantisipasi kerasnya persaingan yang akan terjadi dalam percaturan ekonomi, baik tingkat regional maupun internasional.

Sumber Gambar: ISTIMEWA

No comments:

Post a Comment