"Merah Putih teruslah kau berkibar, diujung tiang tertinggi, di Indonesia ku ini, Merah Putih teruslah kau berkibar, ku akan selalu menjagamu".
Begitu bunyi
petikan lagu coklat, dengan judul Bendera. Sebagai anak bangsa, sepatutnya kita
terus menggelorakan semangat nasionalisme. Melalui apapun, termasuk lagu
seperti group band coklat ini.
Sepatutnya, merah putih sebagai bendera harus terus kita kibarkan. Dan sebentar lagi, kita akan melihat setiap sudut negeri, dihiasi merah putih. Dari mulai tingkat pusat sampai daerah, bahkan RT/RW. Dari gedung-gedung bertingkat, sampai rumah kumuh. Dari jalan raya besar sampai gang-gang kecil. Dari bendera ukuran besar sampai ukuran sangat kecil. Hal tersebut, rutin dan memang menjadi tradisi tahunan rakyat Indonesia dalam rangka memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia, 17 Agustus mendatang.
Sepatutnya, merah putih sebagai bendera harus terus kita kibarkan. Dan sebentar lagi, kita akan melihat setiap sudut negeri, dihiasi merah putih. Dari mulai tingkat pusat sampai daerah, bahkan RT/RW. Dari gedung-gedung bertingkat, sampai rumah kumuh. Dari jalan raya besar sampai gang-gang kecil. Dari bendera ukuran besar sampai ukuran sangat kecil. Hal tersebut, rutin dan memang menjadi tradisi tahunan rakyat Indonesia dalam rangka memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia, 17 Agustus mendatang.
Ya, Agustus
memang menjadi bulan yang memiliki arti tersendiri bagi rakyat Indonesia.
Bagaimanapun, sejarah berbicara bahwa tanggal tersebut, Sukarno - Hatta
memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia tahun 1945.
72 tahun sudah
kita merasakan kemerdekaan? Menjadi pertanyaan klise adalah apakah benar bahwa
kita sebagai bangsa Indonesia, sudah merasakan kemerdekaan secara menyeluruh
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Sepertinya kita harus mengerutkan dahi untuk menjawabnya. Bahkan kalau perlu, memperlihatkan
emot “pensive” sebagai tanda bahwa
kita sedang berpikir keras.
Memaknai Merdeka
Merdeka itu
sederhana. Merdeka adalah ketika sila kelima dari dasar Indonesia merdeka,
yakni Pancasila terwujud. Sebagaimana yang dimaksudkan adalah keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, jika masih ada ketimpangan dimana-mana
pada bangsa Indonesia, maka “merdeka” sepenuhnya masih jauh api dari panggang.
Bicara bangsa, Ki
Bagoes Hadikoesoemo menjelaskan bangsa adalah bersatunya orang dengan tempat ia
berada, persatuan antara orang dengan wilayah. Ini berarti, dalam konteks
ke-Indonesiaan bahwa bangsa Indonesia adalah orang Indonesia yang ada di
Indonesia.
Pertanyaannya,
jika wilayah kita sudah dikuasai para kaum borjuis, masihkah kita menjadi
bangsa Indonesia? Apakah cukup dengan kita tinggal di Indonesia, maka kita
menjadi bangsa Indonesia?
Terbayang, apa
jadinya bangsa Indonesia ketika tanah dimana mereka tinggal, secara keseluruhan
dikuasai oleh segelintir orang saja. Masihkah kita menjadi bangsa Indonesia?
Atau jangan-jangan hilang dari peradaban. Walaupun beda persoalan, sepertinya akan
jadi mirip-mirip bangsa Yunani. Dulu masyhur. Tapi kini Yunani menjadi Negara
yang bangkrut. Menyedihkan bukan?
Nah, saat ini. Di
Indonesia, sejumlah pengembang kelas naga tercatat menguasai ribuan hektar
lahan. Misalnya di kawasan Jadebotabek dan salah satunya Kota Tangerang Selatan
(Tangsel). Di Tangsel sendiri, Sinarmas Land Group menguasai lahan terluas
melalui pengembangan BSD City seluas 6.000 hektar, PT Alam Sutera Tbk 2.300
hektar, PT Summarecon Agung Tbk dan Paramount Enterprise International seluas
2.300 hektar, dan PT Jaya Real Property Tbk seluas 2.300 hektar dengan Bintaro
Jaya. Sedangkan, luas lahan Tangsel sendiri hanya sebesar 14.720 ha. Artinya,
lebih dari 50 persen lahan di Tangsel, dikuasai pengembang.
Pengembang tentu
senang. Mereka paham betul kalau tanah adalah salah satu faktor produksi yang
sangat vital. Sedangkan, masyarakat kita mudah tergiur pada iming-iming yang
memang menggiurkan. Alhasil, dilepaslah kepemilikan lahan kepada para
pengembang.
Menurut riset
Knight Frank, para pengembang ini memanfaatkan aset lahannya untuk pengembangan
perumahan terpadu skala kota lengkap dengan fasilitas penunjang, properti
komersial, dan juga kawasan industri sebagai basis ekonomi.
Pertanyaannya,
perumahan tersebut diperuntukkan untuk siapa? Kawasan Industri sebagai basis
ekonomi yang dimaksudkan tersebut, siapa para pelakunya? Tentunya, mustahil
kalau itu pribumi. Ya jelas, orang-orang kaya pastinya. Pribumi paling hanya
sebagai buruh, baik saat pembangunan maupun pasca pembangunan.
Ini artinya, pembangunan
yang dilakukan para pengembang tidak berorientasi pada kebutuhan masyarakat
secara keseluruhan, khususnya pribumi. Melainkan, hanya segelintir yakni orang-orang
berkelas yang memiliki kekayaan sampai langit. Sedangkan kepentingan pribumi,
nomor sekian. Bahkan, parahnya kalau ternyata tidak masuk dalam pertimbangan. Nah, Loh?
Peran Pemda
Sedih sesedih
sedihnya. Itu yang nanti akan terjadi dengan pribumi Tangsel. Jika tidak segera
diantisipasi, Tangsel ke depan hanya akan menjadi “Kota Baru” dan dinikmati
untuk mereka golongan masyarakat kelas atas.
Seyogyanya
pemerintah daerah (pemda) Tangsel harus turut andil dalam mengadvokasi
masyarakat guna mempertahankan lahan yang dimilikinya. Landreform harus dijalankan dengan mengindahkan kepentingan rakyat.
Dan kebijakan pembatasan kepemilikan lahan menjadi harapan atas persoalan
tersebut.
Problemnya
adalah jika ada oknum pemda yang justru ikut terlibat proses penguasaan lahan
tersebut. Mereka yang lebih memilih untuk bercumbu dengan para bandit-bandit
kapitalis. Mereka yang kongkalikong
hanya untuk kepentingan orang-perorang.
Rusaklah Tangsel.
jika hal demikian masih terjadi. Bila masih ada banyak lahan masyarakat yang
dibeli oleh para pengembang. Maka, sepatutnya, label Tangsel sebagai “Kota
Koperasi” harus dicabut. Mengapa? Karena koperasi sebagai institusi ekonomi
pada dasarnya mengedepankan nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Bagaimana
masyarakat mau diberdayakan? Wong
tanah sebagai salah satu alat produksi, tidak lagi mereka miliki.
Semestinya,
pemda harus jeli melihat potensi adanya tanah yang dimiliki masyarakat. Seperti
melakukan sosialisasi guna memproduktifkan lahan. Bahkan, mendorong masyarakat
untuk memulai bisnis dengan lahan yang mereka punya. Bermitra dengan masyarakat
untuk mendirikan centra-centra usaha. Selanjutnya, melakukan sinergisasi
program pengembangan usaha.
Jika itu yang
dilakukan, tidak menutup kemungkinan, perekonomian masyarakat Tangsel akan
terus bangkit. Usaha-usaha rakyat, bisa jadi akan menyilap gemerlap bisnis para
pengembang. Dan keadilan sosial yang dimaksudkan, akan terwujud di kota yang
dikomandoi Airin Rachmi Diany. Untuk kita renungkan.
Sumber Gambar: Klik Disini
Sumber Gambar: Klik Disini
No comments:
Post a Comment