Refleksi Kemerdekaan Untuk Tangsel - Suparman Kadamin

Friday, November 23, 2018

Refleksi Kemerdekaan Untuk Tangsel



"Merah Putih teruslah kau berkibar, diujung tiang tertinggi, di Indonesia ku ini, Merah Putih teruslah kau berkibar, ku akan selalu menjagamu".

Begitu bunyi petikan lagu coklat, dengan judul Bendera. Sebagai anak bangsa, sepatutnya kita terus menggelorakan semangat nasionalisme. Melalui apapun, termasuk lagu seperti group band coklat ini.

Sepatutnya, merah putih sebagai bendera harus terus kita kibarkan. Dan sebentar lagi, kita akan melihat setiap sudut negeri, dihiasi merah putih. Dari mulai tingkat pusat sampai daerah, bahkan RT/RW. Dari gedung-gedung bertingkat, sampai rumah kumuh. Dari jalan raya besar sampai gang-gang kecil. Dari bendera ukuran besar sampai ukuran sangat kecil. Hal tersebut, rutin dan  memang menjadi tradisi tahunan rakyat Indonesia dalam rangka memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia, 17 Agustus mendatang.

Ya, Agustus memang menjadi bulan yang memiliki arti tersendiri bagi rakyat Indonesia. Bagaimanapun, sejarah berbicara bahwa tanggal tersebut, Sukarno - Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia tahun 1945.

72 tahun sudah kita merasakan kemerdekaan? Menjadi pertanyaan klise adalah apakah benar bahwa kita sebagai bangsa Indonesia, sudah merasakan kemerdekaan secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Sepertinya kita harus mengerutkan dahi  untuk menjawabnya. Bahkan kalau perlu, memperlihatkan emot “pensive” sebagai tanda bahwa kita sedang berpikir keras.

Memaknai Merdeka

Merdeka itu sederhana. Merdeka adalah ketika sila kelima dari dasar Indonesia merdeka, yakni Pancasila terwujud. Sebagaimana yang dimaksudkan adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, jika masih ada ketimpangan dimana-mana pada bangsa Indonesia, maka “merdeka” sepenuhnya masih jauh api dari panggang.

Bicara bangsa, Ki Bagoes Hadikoesoemo menjelaskan bangsa adalah bersatunya orang dengan tempat ia berada, persatuan antara orang dengan wilayah. Ini berarti, dalam konteks ke-Indonesiaan bahwa bangsa Indonesia adalah orang Indonesia yang ada di Indonesia.

Pertanyaannya, jika wilayah kita sudah dikuasai para kaum borjuis, masihkah kita menjadi bangsa Indonesia? Apakah cukup dengan kita tinggal di Indonesia, maka kita menjadi bangsa Indonesia?

Terbayang, apa jadinya bangsa Indonesia ketika tanah dimana mereka tinggal, secara keseluruhan dikuasai oleh segelintir orang saja. Masihkah kita menjadi bangsa Indonesia? Atau jangan-jangan hilang dari peradaban. Walaupun beda persoalan, sepertinya akan jadi mirip-mirip bangsa Yunani. Dulu masyhur. Tapi kini Yunani menjadi Negara yang bangkrut. Menyedihkan bukan?

Nah, saat ini. Di Indonesia, sejumlah pengembang kelas naga tercatat menguasai ribuan hektar lahan. Misalnya di kawasan Jadebotabek dan salah satunya Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Di Tangsel sendiri, Sinarmas Land Group menguasai lahan terluas melalui pengembangan BSD City seluas 6.000 hektar, PT Alam Sutera Tbk 2.300 hektar, PT Summarecon Agung Tbk dan Paramount Enterprise International seluas 2.300 hektar, dan PT Jaya Real Property Tbk seluas 2.300 hektar dengan Bintaro Jaya. Sedangkan, luas lahan Tangsel sendiri hanya sebesar 14.720 ha. Artinya, lebih dari 50 persen lahan di Tangsel, dikuasai pengembang. 

Pengembang tentu senang. Mereka paham betul kalau tanah adalah salah satu faktor produksi yang sangat vital. Sedangkan, masyarakat kita mudah tergiur pada iming-iming yang memang menggiurkan. Alhasil, dilepaslah kepemilikan lahan kepada para pengembang.

Menurut riset Knight Frank, para pengembang ini memanfaatkan aset lahannya untuk pengembangan perumahan terpadu skala kota lengkap dengan fasilitas penunjang, properti komersial, dan juga kawasan industri sebagai basis ekonomi.

Pertanyaannya, perumahan tersebut diperuntukkan untuk siapa? Kawasan Industri sebagai basis ekonomi yang dimaksudkan tersebut, siapa para pelakunya? Tentunya, mustahil kalau itu pribumi. Ya jelas, orang-orang kaya pastinya. Pribumi paling hanya sebagai buruh, baik saat pembangunan maupun pasca pembangunan.

Ini artinya, pembangunan yang dilakukan para pengembang tidak berorientasi pada kebutuhan masyarakat secara keseluruhan, khususnya pribumi. Melainkan, hanya segelintir yakni orang-orang berkelas yang memiliki kekayaan sampai langit. Sedangkan kepentingan pribumi, nomor sekian. Bahkan, parahnya kalau ternyata tidak masuk dalam pertimbangan. Nah, Loh?

Peran Pemda

Sedih sesedih sedihnya. Itu yang nanti akan terjadi dengan pribumi Tangsel. Jika tidak segera diantisipasi, Tangsel ke depan hanya akan menjadi “Kota Baru” dan dinikmati untuk mereka golongan masyarakat kelas atas.

Seyogyanya pemerintah daerah (pemda) Tangsel harus turut andil dalam mengadvokasi masyarakat guna mempertahankan lahan yang dimilikinya. Landreform harus dijalankan dengan mengindahkan kepentingan rakyat. Dan kebijakan pembatasan kepemilikan lahan menjadi harapan atas persoalan tersebut.

Problemnya adalah jika ada oknum pemda yang justru ikut terlibat proses penguasaan lahan tersebut. Mereka yang lebih memilih untuk bercumbu dengan para bandit-bandit kapitalis. Mereka yang kongkalikong hanya untuk kepentingan orang-perorang.

Rusaklah Tangsel. jika hal demikian masih terjadi. Bila masih ada banyak lahan masyarakat yang dibeli oleh para pengembang. Maka, sepatutnya, label Tangsel sebagai “Kota Koperasi” harus dicabut. Mengapa? Karena koperasi sebagai institusi ekonomi pada dasarnya mengedepankan nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Bagaimana masyarakat mau diberdayakan? Wong tanah sebagai salah satu alat produksi, tidak lagi mereka miliki.

Semestinya, pemda harus jeli melihat potensi adanya tanah yang dimiliki masyarakat. Seperti melakukan sosialisasi guna memproduktifkan lahan. Bahkan, mendorong masyarakat untuk memulai bisnis dengan lahan yang mereka punya. Bermitra dengan masyarakat untuk mendirikan centra-centra usaha. Selanjutnya, melakukan sinergisasi program pengembangan usaha.

Jika itu yang dilakukan, tidak menutup kemungkinan, perekonomian masyarakat Tangsel akan terus bangkit. Usaha-usaha rakyat, bisa jadi akan menyilap gemerlap bisnis para pengembang. Dan keadilan sosial yang dimaksudkan, akan terwujud di kota yang dikomandoi Airin Rachmi Diany. Untuk kita renungkan.

Sumber Gambar: Klik Disini

No comments:

Post a Comment